Senin, 29 November 2010

Game Tech


Sebulan lebih saya bertapa dari dunia blog :) Ada hobi pekerjaan lama yang bikin saya ketagihan lagi, develop Game! Terakhir ngoprek Game sewaktu part time di Activision di Tokyo 7 tahun lalu. Natsukashii desu ne … kata orang Jepang, cari di kamus yo artinya ;) Saya sempat sekitar 3 tahun jadi han-sarariman (half-salaryman) di Activision, kerja bareng plus ngajar bule bule amrik yang gendeng hehehe. Intinya gini, awal tahun 2008 ini, saya diminta teman-teman dari Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) untuk menyusun kurikulum Konsentrasi Game Technology Program M.Kom. Konsentrasi Game Technology di Udinus adalah kelanjutan dari usaha sinergis membangun Jurusan Game Technology yang didahului oleh poros barat melalui ITB dan poros timur oleh ITS. Karena satu konsentrasi hanya mendapatkan jatah 5 mata kuliah tambahan, saya coba pilah, pilih dan peras, sampai akhirnya muncul 5 mata kuliah: Graphics Design and 3D Modeling, Game Design and Development, Game Programming I, Game Programming II, Scenario and Immersive Environment.

Saya perlu bantuan teman-teman Desain Komunikasi Visual (DKV) untuk ikutan ngajar dan mengasah sense seni alias otak kanan mahasiswa M.Kom untuk mata kuliah Graphics Design and 3D Modeling dan mata kuliah Scenario and Immersive Environment. Meskipun tentu saja pendekatan computing khususnya teoritika Computer Graphics tetap harus diberikan pada kedua mata kuliah tersebut. Sedangkan mata kuliah Game Design and Development dan juga Game Programming, saya minta untuk bisa ngajar sendiri, karena ketiga mata kuliah itu saya gunakan sekaligus untuk bimbingan tugas akhir bagi mahasiswa yang mengikuti konsentrasi Game Technology. Saya menggunakan model laboratorium penelitian ala Universitas di Jepang supaya saya bisa memonitor progres belajar, penelitian dan pengembangan yang dilakukan teman teman mahasiswa secara teratur.

Jujur saja, saya merasa exciting dan tertantang dengan kesempatan yang diberikan teman-teman dari Udinus ini. Saya ingin membuat lompatan, baik secara kualitas research maupun produk yang dihasilkan oleh 16 mahasiswa yang mengikuti konsentrasi Game Technology ini. Secara kualitas research, saya gariskan untuk tetap pada jalur metodologi penelitian yang benar dan standard. Materi metodologi penelitian juga saya sisipkan, termasuk memberikan shock theraphy ke teman-teman mahasiswa dengan beberapa kali menguji kualitas masalah, tema dan judul penelitian yang mereka ajukan. Saya beri kebebasan seluruh mahasiswa mengusulkan tema penelitian, tapi harus melewati pembantaian uji logic dari saya, yang saya lakukan langsung di depan kelas :) Mohon maaf untuk mahasiswa yang tidak terbiasa dengan behavior penelitian sangar dan brutal seperti ini. Mudah-mudahan pertemuan bulan ini tidak ada lagi wajah-wajah tegang nan mrengut di kelas ;) Saya lakukan ini semua untuk anda semua, para mahasiswaku tercinta, supaya lulus tidak hanya mendapatkan gelar, tapi juga ilmu dan penelitian bertaraf internasional (meskipun sekolahnya bertarif regional heheheh)

Untuk produk Game-nya sendiri, Genre harus tetap di Education, meskipun diperbolehkan untuk hybrid-genre. Misalnya Genre Education yang hybrid dengan Genre Action, Strategy, RPG, Adventure, bahkan God Game kalau perlu :) Saya juga bebaskan untuk menggunakan tool maupun bahasa pemrograman yang mahasiswa sukai. Hanya, karena saya berambisi membuat lompatan pada kualitas produk, materi mata kuliah Game Programming saya arahkan untuk penguasaan Game berbasis 3D. Supaya mahasiswa tidak “mencret-mencret” karena memainkan langsung DirectX maupun OpenGL ;) , saya pilihkan 3D Game Engine (middleware) yang relatif mudah dan learning curve-nya pendek. Target saya adalah munculnya produk Game 3D “layak jual” yang diproduksi mahasiswa M.Kom Udinus sebelum mereka lulus tahun depan. Saya akan bahas masalah 3D Game Engine ini di posting berikutnya.

Untuk mahasiswaku sekalian, meskipun anda adalah kaum minoritas, terpinggirkan dan termarjinalkan :) Saya yakin anda semua adalah kaum pendobrak yang memiliki nyali dahsyat karena telah mau tersesat memilih berdjoeang bersama orang gila seperti saya di Konsentrasi Game Technology. Saya siap all out dan terjun berkubang lumpur bareng anda semua. Saya harap temen-temen semua juga siap ikut saya nyemplung di jalan gelap, sulit nan mendaki ini. Saya tidak bisa menjanjikan surga, tapi Insya Allah saya menjanjikan ilmu dan penelitian yang bermanfaat, yang perdjoeangannya bisa dengan bangga kita ceritakan ke anak cucu kita kelak ;) Amiiin.

Tetap dalam perdjoeangan …

ttd-small.jpg
Category: Game Technology, Research

Company of Heroes Tales of Valor

Tales of Valor merupakan judul ekspansi terbaru dari THQ dan Relic untuk game Company of Heroes, sebuah game RTS yang pernah menduduki peringkat game RTS terbaik. Tales of Valor juga merupakan ekspansi “stand alone” seperti ekspansi sebelumnya, yakni Opposing Force. yang artinya gamer tidak memerlukan game Company of Heroes pertama dalam menginstal dan memainkan Tales of Valor.

Relic akan menyajikan mode permainan single player dengan total tiga campaign, yang tiap campaign akan memiliki sekitar kurang lebih 10 misi. Dan tentu saja disepanjang permainan di mode ini, gamer masih tetap dapat menikmati sinematik yang akan menceritakan misi campaign yang diemban. Ekspansi ini juga akan menghadirkan fitur “Direct Action” yang diadopsi dari game strategi, Heroes of World War 2. Dimana gamer dapat mengontrol langsung salah satu unitnya dalam membidik dan menembak target. Keakuratan dan ketepatan tembakan kini berada ditangan gamer. Namun sayangnya belum ada info yang menjelaskan dengan detil, apakah gamer bisa membidik bagian – bagian dalam unit musuh, seperti membidik dan menembak bagian roda ataupun mesin tank hingga rusak agar tidak bisa bergerak, seperti yang terdapat di game Heroes of World War 2.

Pada ekspansion kali ini, Relic lebih memfokuskan pada elemen Multiplayer. Salah satunya adalah mode Kooperatif, dimana gamer bersama dengan pemain lainnya berusaha mempertahankan suatu wilayah dari gelombang serbuan musuh yang dating silih berganti. Dan diyakini pada mode ini, gamer dan teman – temannya akan mendapat tantangan yang cukup berat, karena tingkat kesulitan di mode ini cukup ekstrim dan bahkan gamer juga bakal bertemu dengan Boss musuh yang lebih kuat dari yang unit lainnya.

Beralih ke mode multiplayer selanjutnya, yakni mode Assault. Dimana mode ini, memiliki gampelay yang mirip dengan Warcraft III – DotA. Di mode ini, gamer akan lebih berfokus pada skala yang lebih kecil, yakni satu unit saja yang dapat dipilih dari total 7 kelas unit yang tersedia, yakni Commando, Medic, Recon Scout, Enginner, Sniper, dan Officer. Tiap dari kelas unit tersebut akan memiliki beberapa abiliti masing – masing yang dapat digunakan untuk membunuh musuh dan mempertahankan diri.

Semakin banyak gamer membunuh musuh, maka semakin meningkat pula experince point dan level unit gamer. Saat unit gamer berhasil naik level, maka gamer akan mendapatkan skill point yang bisa didistribusikan ke tiga jenis atribut pada unit, yakni daya rusak senjata, pelindung, dan daya rusak granat. Semakin tinggi point atribut daya rusak senjata, maka semakin tinggi pula Hit Damage yang diterima unit musuh.

talesofvalor

Disaat unit karakter gamer tewas, unit tersebut akan muncul kembali dalam kurun waktu beberapa menit dan atribut point yang telah dibangun tidak akan hilang walaupun gamer telah memilih kelas yang lain. Dalam memenangkan permainan di mode ini, gamer mesti berusaha keras menembus pertahanan musuh yang penuh dengan bunker senapan mesin dan sekelompok infantri yang terus muncul yang dikontrol oleh komputer serta karakter hero musuh. Dan misi utamanya adalah menghancurkan markas besar musuh untuk memenangkan permainan ini. Kesimpulan akhir untuk gameplay dimode ini benar – benar mirip dengan gameplay di game Warcraft III – DotA.

Sepertinya game Company of Heroes Tales of Valor menyajikan mode permainan multiplayer yang lebih menantang, disamping dari single player campaign yang menarik. Bagi gamer yang sudah pernah memainkan Company of Heroes pertama dan ekspansi Opposing Force, bakal tidak sabar menunggu perilisan ekspansi Tales of Valor yang dijadwalkan rilis di bulan April 2009 ini.

Samsung Galaxy 5 Cuma Rp 1,9 Juta


JAKARTA, KOMPAS.COM- Setelah merilis Galaxy Spica yang mencatatkan penjualan ponsel Android tertinggi (menurut riset GfK), lalu melepaskan ponsel high end yang high definition yaitu Galaxy S, Samsung Electronics Indonesia melihat peluang untuk segmen new entry masih terbuka lebar.

Sekadar info, sejauh ini pasar ponsel Android memang didominasi oleh ponsel-ponsel di atas Rp 2,5 jutaan. Bahkan tak sedikit yang di kisaran atas Rp 4 juta. Kalaupun ada yang di bawah Rp 2 juta, tercatat hanya dua brand saja, yaitu IMO dan i-Mobile. Nexian yang bermain dengan seri Journey masih jauh di atas ambang harga tersebut. Tentu saja beda harga, beda kualitas.

Namun Samsung tak mau sekadar merilis ponsel dengan spesifikasi seadanya. Seri Galaxy 5 (atau 550) pun dirilis untuk memperkaya segmen di bawah Rp 2 juta. Dan, tampaknya kompetisi di lapis ini tak terlalu padat. Bahkan bisa saja justru menjadi "pahlawan" untuk mendongkrakkan pamor Samsung yang ingin merajai ponsel dengan sistem operasi bikinan Google ini.

Seri Galaxy 550 sudah siap di pasar (bahkan yang BM pun sudah berkeliaran) dengan harga Rp 1,99 juta perak. Walaupun begitu, seri seberat 102 gram ini sudah menggunakan jaringan HSDPA serta dilengkapi dengan Wi-Fi untuk kemudahan akses internet. Yang tak kalah pentingnya, Galaxy 5 telah memakai OS Android versi 2.1 alias Eclair (ini pun masih bisa di up grade).Tak pelak hal ini bahkan melebihi sejumlah ponsel yang telah lebih dulu keluar yang dijual di harga Rp 2,5 jutaan.

Namun memang ada beberapa penyesuaian terhadap harga, seperti misalnya prosesor yang dipakai masih berkecepatan komputasi 600 MHz. Lalu, kameranya pun hanya 2 MP.

Toh Samsung tetap berupaya memberikan sejumlah fitur yang juga dimiliki oleh Galaxy Spica bahkan Galaxy S. Umpamanya fitur Write and Go yang mengenakan teknik Swype untuk pengetikan cepat (memakai metode predictive text input). Lalu, fasilitas SNS (Social Network Service) yang mengkombinasikan beberapa situs jejaring sosial dan blog mikro untuk mempercepat proses up date.

Dengan harga tersebut, Samsung Elctronics Indonesia tampaknya ingin mengedukasi pengguna pemula yang tengah tergila-gila oleh akses internet mobile lewat Facebook atau Twitter. Dengan budget yang layak, berpindah ke ponsel Android tentu saja akan menikmati sebuah pengalaman baru. Khususnya dalam hal unduh-mengunduh dan ber-email ria.

Jika menggunakan istilah komunitas id-Android, Samsung rupanya ingin "meracuni" pengguna untuk memperoleh sesuatu yang lebih kaya, tapi dengan anggaran yang lebih masuk akal.